Yang saya maksud dengan menghafal Al-Qur’an adalah
memfokuskan diri untuk menghafal, standar lamanya biasanya 2-3 tahun. Sedangkan
maksud ngaji syariat adalah mengaji ilmu-ilmu agama beserta perangkatnya,
seperti: tajwid dan bahasa arab, keduanya adalah hal paling dasar sebagai modal
awal baca qur’an dan baca kitab. Dilanjutkan dengan 3 hal seperti: tauhid,
fiqh, dan akhlak islamiyyah sebagai pondasi awal.
Tidak dipungkiri kedua hal di atas sangat mulia. Di antara
dua kemulian selalu ada yang lebih mulia. Kalau mengikut metode nabi saw.
sesuatu yang paling afdal dan mulia itu amalan yang paling mendesak dibutuhkan.
Sebagai contoh: pendurhaka orang tua, maka ia butuh untuk berbakti, suka “molor”
salat, maka ia butuh salat pada waktunya, dsb.
Terdapat 4 macam prioritas cita-cita orang tua pada anaknya
(+sekolah tentunya). Pertama: Menjadi ahli syariat, kedua: menjadi seorang Al-Hafiz,
ketiga: Menjadi dua-duanya, keempat: Sekolah aja dan mengejar karir. Namun yang
sering penulis jumpai kebanyakan ingin jadi Al-Hafiz terlebih dulu daripada
ahli syariat. Padahal, seorang anak itu fardhu ‘ain (sangat mendesak) dibekali dasar
ilmu syarait, adapun Al-Hafiz itu hukumnya fardhu kifayah yang dianjurkan saja.
Entah ya, mungkin bisa memilki anak berlabel "Al-Hafiz" dan dikenal orang lebih dirasa membanggakan daripada ahli syariat yang lebih dapat menyelamatkan hidup dunia-akhiratnya di masa depan!!!
Pada dasarnya, seorang anak akan kesulitan menggabungkan antara menghafal Al-Qur’an, belajar syariat dan sekolah. Karena masing-masing memilki beban yang sangat berat yang harus dipertahankan. Kemungkinannya: Menghafal + sekolah, atau belajar syariat + sekolah, tidak bisa dicampur tiga-tiganya. Bila dipaksakan, hasilnya tidak akan maksimal, entah hafalannya kocar-kacir, ilmu syariatnya prematur, atau nilai sekolah “jeblok” dan tidak naik kelas.
Berikut ini adalah beberapa metode
belajar menggabungkan di antara menghafal dan belajar + sekolah:
A.
Menghafal → Mengaji + Sekolah
Metode ini cocok untuk orang tua yang berambisi
anaknya menjadi seorang hafiz tulen. Kekurangannya, seorang anak akan dirasa
telat dan sangat 'ngoyo sekali' belajar ilmu agama karena ia terbebani dengan
mengulang hafalan dan pelajaran sekolah. Metode ini tidaklah tepat karena mendahulukan
yang fardhu kifayah daripada fardhu ain.
B.
Mengaji Syariat →
Menghafal + Sekolah
Adapun metode B, saya rasa cukup ideal karena mendahulukan yang primer daripada yang sekunder. Seorang anak tidak akan terlalu terbebani dengan pelajaran syariatnya setelah melewatinya. Bahkan, ia akan merasa terbantu mengembangkan ilmu syariat dan menghafal Al-Qur’an karena paham makna dan Al-Qur’an itu sendiri adalah ilmu syariat.
C.
“Menghafal” → Mengaji Syariat + Sekolah
Tanda kutip pada "menghafal" dimaksudkan
bahwa seorang anak sejak kecil harus sudah dibiasakan mengenal cara baca Al-Qur’andengan
baik dan benar. Sehingga ketika masuk SMP ia sudah memilki 1 dasar. Selanjutnya
bisa ia manfaatkan menghafal juz amma, 29, 28 atau surat-surat penting dengan
cara banyak mendengar murottal, tidak perlu fokus 30 juz dulu. Hal ini ia
lakukan sebagai sambilan belajar ilmu syariat.
Ketika ia lulus SMA, baru memulai menyempurnakan
hafalannya sampai 30 juz. Kalau kedua dasar (hafal Al-Qur’andan ilmu syariat)
pada umur 19-23 tahun sudah 60-70% dikuasai, untuk selanjutnya insyaallah akan
mudah berjalan bersama-sama untuk melancarkan hafalan dan mengembangkan ilmu
agama sambil kuliah.
Ketiga hal di atas adalah metode-metode yang bisa dipilih sesuai selera orang tua. Opsi yang terakhir ini sangat ideal dan recomended sekali kalau orang tua ingin anaknya menjadi ahli syariat dan hafiz.
HAL YANG PALING PENTING: Jangan sampai anak-anak kita hanya mengejar dan fokus kepada sekolah (dunia) tanpa dibekali pendidikan agama sama sekali. Melihat tantangan hidup di era globalisasi teknologi semakin membahayakan dan kehidupan moral semakin rusak, jauh dari akhlak Islamiyyah.
Semoga bermanfaat dan silakan menyempurnakan bila ada
tambahan dan metode lain yang lebih jitu.
Salam damai, cinta, dan persaudaraan
Mochamad Ihsan Ufiq
Doha, 8 Agustus 2015
0 Komentar